BAGI YANG PERDULI DENGAN KESEHATAN & PENGETAHUAN

Friday, December 5, 2008

Dermatitis Atopi (Tinjauan Kepustakaan)

Tinjauan Kepustakaan
DERMATITIS ATOPI
1.1 Definisi
Dermatitis atopi adalah keadaan peradangan kulit kronik dan residif yang disertai gatal yang berhubungan dengan atopi. Kata ”atopi” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1928) yaitu suatu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarga (herediter), misalnya asma bronkhiale, rhinitis alergika, konjungtivitis alergika dan ada kecenderungan untuk mudah terserang urtikaria. (1,2)
Dermatitis atopi dikenal juga sebagai eksema konstitusional, eksema fluksoral, neurodermatitis deseminata, prurigo Besnien dan eksema atopi. (2,3)

1.2 Etiologi
Penyebab dermatitis atopi belum diketahui. Sekitar 70% penderita ditemukan riwayat stigmata atopi pada pasien atau anggota keluarga, yaitu berupa ; (3,4)
1. Rhinitis alergika, asma bronkhiale, hay fever
2. Alergi terhadap berbagai alergen protein (polivalen)
3. Pada kulit : Dermatitis atopi, dermatografisme putih dan kecenderungan timbul urtikaria.
4. Reaksi abnormal terhadap perubahan suhu (panas dan dingin) dan stress.
5. Resistensi menurun terhadap infeksi virus dan bakteri.
6. Lebih sensitif terhadap serum dan obat.
7. Kadang-kadang terdapat katarak juvenelis.
1.3 Patogenesa
Patogenesa dari terjadinya dermatitis atopi belum diketahui secara pasti. Pada sebagian besar penderita (80%) penderita dermatitis atopi ditemukan peningkatan jumlah Ig E dalam serum, terutama bila terjadi bersamaan dengan asma bronkhiale dan rhinitis alergika karena deffisiensi sel T supressor. (4)
Pada temuan laboratorium penderita dermatitis atopi terdapat abnormalitas dari sel T helper (TH2) yang menginduksi peningkatan produksi interleukin 4 (IL-4) dan berujung pada peningkatan Ig E. Kelebihan produksi IL-4 mengakibatkan penurunan level interferon gamma. Sel-sel dapat bereaksi dengan antigen lingkungan untuk memproduksi peningkatan level dari Ig E. Histamin serum dan pengeluaran sel histamin meningkat, dimana dianggap menimbulkan pengeluaran sel mast dari reaksi antigen-antibodi. (1,3)

1.4 Manifestasi Klinis
Gejala utama dari dermatitis atopi adalah gatal (pruritus). Akibat garukan akan terjadi berbagai kelainan kulit seperti likenifikasi dan lesi eksematosa berupa eritem, papula-vesikuler, erosi, eksoriasi dan krusta. (1)
Berdasarkan golongan umur, morfologi dan lokalisasi dermatitis atopi dapat dibagi dalam 3 bentuk klinis yaitu : (1,2,3,5)
Bentuk Infantil (2 bulan – 2 tahun)
Paling sering terjadi pada umur 2 – 6 bulan. Lesi mulai timbul di muka (pipi dan dahi) dan skalp, dapat pula mengenai tempat lain yaitu badan leher, lengan dan tungkai. Lesi yang timbul beruap eritem dan papulovesikuler miliar yang sangat gatal, berbatas tegas. Karena garukan akan menjadi erosi, eksoriasi dan krusta. Tempat predileksi yaitu pada kedua pipi (milk eksema), lipatan siku, lipatan lutut dan biasanya simetris.
Bentuk Anak ( 3 – 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan dari bentuk infantil atau timbul sendiri. Lesi biasanya kering (tidak eksudatif), batas tegas, karena garukan timbul eksoriasi memanjang, hiperkeratosis, hiperpigmentasi dan kadang hipopigmentasi. Tempat predileksi yaitu pada tengkuk, lipatan siku dan paha, pergelangan tangan dan kaki, jarang mengenai muka.
Bentuk Dewasa (13 – 30 tahun)
Lesi kulit selalu kering, sukar berkeringat, ambang rasa gatal sangat rendah sehingga bila penderita berkeringat merasa sangat gatal. Kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, eksoriasi dan krusta. Tempat predileksi dimuka (dahi, kelopak mata dan perioral), leher, dada bagian atas, lipaatan siku dan lutut, punggung tangan, biasanya simetris.
Kelainan lain yang biasanya menyertai dermatitis atopi adalah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis palmaris et plantaris, pomfoliks, pitriasis alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar, katarak sub kapsularis anterior, lidah geografik, liken spinularis dan keratokonus. (1)

1.5 Pemeriksaan Penunjang (1,2)
- Pada pemeriksaan darah perifer ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar Ig E
- Dermatografisme putih (+)
Pada kulit normal jika digores akan menimbulkan 3 respon yaitu ;
1. Garis merah pada tempat yang di gores selama 15 detik
2. Warna merah menjalar ke daerah sekitar garis selama beberapa detik
3. Timbul edem setelah beberapa detik
Pada pasien dengan dermatitis atopi penggoresan pada kulit tidak akan menimbulkan kemerahan sekitar garis, melainkan kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit dan edem tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih
- Pada pemberian suntikan asetil kolin secara intra kutan 1/5000 akan menyebabkan hiperemia pada orang normal. Pada pasien dermatitis atopi akan timbul vasokontriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam.
- Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi, eritem akan berkurang. Bila disuntikkan secara parenteral tampak eritem bertambah pada kulit yang normal.

1.6 Diagnosa
Untuk dapat menegakkan diagnosa dermatitis atopi secara praktis dapat dilakukan hanya berdasarkan anamnesa dan gejala klinis. Namun demikian terdapat kriteria dermatitis atopi menurut Hanifin dan Lobitz yaitu : (1,3,5)

Harus terdapat :
1. Pruritus
2. Morfologi dan distribusi khas
3. Cenderung kronis dan kambuh
Ditambah 2 atau lebih (kriteria mayor) :
1. Riwayat atopi pada keluarga
2. Tes kulit tipe cepat reaktif
3. Dermatografisme putih (+)
4. Katarak sub kapsular anterior

Ditambah 4 atau lebih (kriteria minor)
Xerosis /iktiosis/hiperlinier palmaris
Pitriasis alba
Keratosis piliaris
Kepucatan fasial
Tanda Dennie Morgan
Peningkatan Ig E
Keratokonus
Kecenderungan mendapat dermatitis non spesifik di tangan
Kecenderungan infeksi kulit berulang

1.7 Diagnosa Banding
Diagnosa banding bentuk infantil adalah dermatitis seboroika, pada bentuk anak dan dewasa adalah neurodermatitis sirkumkripta dan dermatitis kontak alergika. (1,3)


1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan seperti pada dermatitis umumnya, terutama menghindari faktor pencetus/ faktor predisposisi. Pengobatan yang bersifat kuratif belum diketahui secara pasti. Yang penting adalah mencegah agar pasien tidak menggaruk agar tidak terjadi infeksi sekunder. Dianjurkan menggunakan sabun yang banyak mengandung lemak, minyak mineral dan minyak pelumas. Pada bayi pembatasan diet dapat membantu (jangan memberi minum air jeruk dan susu sapi), tapi hal ini tidak efektif pada bentuk anak dan dewasa.(1,4)
Pengobatan sistemik bertujuan untuk mengurangi rasa gatal dan mencegah gelisah yaitu dengan memberikan antihistamin seperti Chlorpheniramine maleat, prometazin, hydroxyzin. Jika sangat gatal dapat diberikan klorpromazin. Bila mengalami infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik eritromisin. Untuk kortikosteroid sistemik tidak di anjurkan kecuali bila kelainan luas atau hanya pada kasus eksaserbasi akut dapat diberikan kortikosteroid jangka waktu pendek (7-10 hari) mengingat efek samping osteoporosis dan katarak(1,4,6)
Pengobatan topikal diberikan bila terdapat eksudatif berat atau stadium akut. Pada bayi dapat diberikan kompres terbuka denagn menggunakan larutan asam salisil 1/1000 atau kalium permanganas 1/10.000. setelah kelainan kering dilanjutkan dengan hidrokortison krim 1-2%. Pada anak dan dewasa tidak menggunakan kompres karena kelinan kulit kering melainkan menggunakan salep karena daya penetrasi salep lebih baik. Salep kortikosteroid dapat dipilih, dan untuk meningkatkan daya penetrasi dapat ditambahkan dengan asam salisilat 3-5% pada kortikosteroid topikal. Obat lain yang dapat digunakan adalah likuor karbonas detergen 2-5% atau ter, berkhasiat vasokontriksi, desinfeksi, antipruritus dan memperbaiki keratinisasi abnomal dengan cara mengurangi proliferasi epidermal dan infiltrasi dermal. Efek samping penggunaan ter yang lama adalah folikulitis dan fotosensitisasi. Ter dapat dikombinasi dengan kortikosteroid topikal. Obat lain juga bisa dengan urea 10% membuat kulit lemas, hidrofilik, antibakterial dan dapat dikombinasi dengan kortikosteroid topikal.(1)
Antihistamin. AH1 berefek menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam otot polos, selain itu bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau kelainan lain yang disertai pelepasan endogen berlebihan. Efektivitas histamin melawan reaksi hipersensitivitas tergantung pada beratnya gejala akibat histamin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1, namun AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin. Terhadap susunan saraf pusat (SSP) AH1 mampu menghambat maupun merangsang. Efek perangsangan biasanya terjadi pada keracunan AH1, efek perangsangan tersebut dapat berupa eksitasi dan gelisah. Sedangkan efek penghambatan berupa rasa kantuk, namun kepekan masing-masing pasien berbeda-beda. AH1 terbaru yang tidak menembus sawar darah otak adalah terfenadin, loratadin dan astemizol (golongan AH1 non sedatif). AH1 juga efektif untuk mengatasi mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain. (1,6)
Korikosteroid Topikal berefek sebagai anti inflamasi, anti pruritus, anti mitotik, anti alergi dan vasokontriksi. Ada 7 golongan berdasarkan daya anti inflamasi dan anti mitotiknya, dimana golongan I sangat kuat dan golongan VII paling lemah. Pemilihannya berdasarkan kesesuaian, aman, efek samping minimal, murah dan disesuaikan faktor jenis penyakit kulit, luas lesi, dalamnya lesi, stadium lesi, lokalisasi serta umur penderita. Sedangkan aplikasinya sebaiknya 2-3 kali/hari sampai gejala sembuh dan hati-hati dengan gejala takifilaksis yaitu menurunnya respon kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokontriksinya akan menghilang setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokontriksinya akan timbul kembali dan akan menghilang bila obat tetap dilanjutkan. Adapun lama penggunaan sebaiknya tidak boleh lebih dari 4-6 minggu untuk yang lemah sedangkan untuk yang kuat tidak boleh lebih dari 2 minggu. Efek samping terjadi bila digunakan lama dan berlebihan, serta menggunakan kortikosteroid secara oklusif. Makin tinggi potensialnya makin cepat efek sampingnya. Gejala dari efek samping yang terjadi adalah : (1,5)
Atropi
Strieatrofise
Telangiektasis
Purpura
Dermatosis akneformis
Hiperkeratosis setempat
Hipopigmentasi
Dermatitis perioral
Menghambat penyembuhan ulkus
infeksi mudah terjadi dan meluas
Gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur
Untuk mencegah efek samping tersebut dapat dimulai dengan dosis yang dianjurkan tidak lebih dari 30 gram sehari tanpa oklusi, jika menggunakan cara oklusi jangan lebih dari 12 jam. Pada bayi, mempunyai kulit tipis maka gunakan kortikosteroid topilkal golongan lemah, begitu pula pada kasus akut. Pada sub akut dipakai yang potensi sedang dan pada yang kronis dan tebal dipakai kortikosteroid golongan kuat, dan bial telah membaik diturunkan frekuensinya menjadi 1 kali sehari atau diganti potensi sedang/lemah. Pada wajah dan lipatan gunakan golongan sedang/lemah, serta jangan digunakan pada infeksi bakterial, mikotik, virus dan skabies. Hati-hati sekitar mata untuk mencegah katarak dan glaukoma. (1,7)

1.9 Prognosis
Penderita dermatitis atopi yang bermula sejak bayi, sebagian (40%) dapat sembuh secara spontan, sebagian berlanjut ke bentuk anak dan dewasa. Ada pula yang menyatakan bahwa 40-50% sembuh pada usia 15 tahun, sebagian besar sembuh pada usia 30 tahun. Secara umum bila ada riwayat dermatitis atopi di keluarga bersamaan denagn asma bronkhial, masa awitan lambat atau dermatitisnya akan semakin berat maka penyakitnya akan lebih persisten. (1,5)

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda Suria et Sularsito Sri Adi. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 1999.

2. Hassan, Rusepno. Dermatitis Atopi dalam Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Infomedika. Jakarta, 1998.

3. Lorraine M Wilson, Sylvia. Ekzema dan gangguan Vaskuler dalam Patofisiologi Penyakit. EGC. Jakarta, 2006.

4. Mansjoer Arif. Dermatitis Atopi dalam Kapita Selekta Jilid 2 edisi III. Media Aesculaplus. FKUI, Jakarta, 2001.

5. Siregar, RS. Pioderma dalam Saripati Penyakit Kulit Edisi II. EGC, Jakarta. 2005.

6. Ganiswara, Sulistia. Antihistamin dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi. IV. FKUI, Jakarta, 2001.

7. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Informasi Obat Nasional Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta, 2000


Created By Koas Kel XV L FK UNLAM

No comments: